“Ibu… aku tak mau dilahirkan” bisik Senandika pada foto wanita yang tersenyum bahagia di hadapannya.
Air mata mengalir, hatinya sakit mendengar apa yang baru saja dia bisikkan.
Tidak ada manusia yang tidak ingin dilahirkan. Sekalipun keberadaannya menyulitkan banyak pihak, tetap ada rasa syukur dan bahagia telah lahir di dunia ini.
Terkadang, hidup memang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
“Dasar cengeng! Cepat pakai baju ini” perintah bapak, melemparkan baju kusam, compang – camping, bau dan juga dekil.
“Kenapa Dika harus pakai ini, Pak?” tanya Senandika, menghapus air matanya.
“Jadikan diri kamu berguna. Pergi ke lampu merah dan ngemis disana” kata Bapak dengan wajah sangarnya.
Senandika mengangguk, patuh. Dia berganti pakaian dengan hati yang perih, seperti ada bola berduri yang berkeliling di hatinya. Semua perintah bapak, harus dia lakukan, karena melawan hanya akan melahirkan ke sia-siaan.
‘Bu, Dika disuruh mengemis’ Senandika membatin.
Dengan gagah, bapak berjalan di depan Senandika yang sudah berkostum gembel. Dia berjalan menunduk, khawatir akan bertemu dan menerima ledekkan dari teman sepermainannya.
‘Andaikan ibu ada disini, apakah bapak akan menyuruh aku mengemis?
Apakah ibu akan membiarkan aku mengemis?
Apakah aku memang harus mengemis?’
Senandika menghela nafas beratnya. Dia tak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Angin dingin membelai tubuh kecil Senandika. Dia memeluk tubuhnya dan melihat awan kelabu mulai terbentuk. Langit bergemuruh dan bulir – bulir hujan pun berjatuhan.
“Pak, hujan” kata Senandika, berharap bapak memutuskan pulang.
“Bagus… akan banyak yang jatuh iba” kata bapak, tersenyum senang.
“Pak, Dika lapar” kata Senandika, mengelus perutnya yang belum berisi sejak pagi.
“Belum juga kerja, sudah minta makan” bentak bapak, melototi Senandika.
Senandika menelan ludah kenyataan pahit. Dia baru saja menemukan alasan untuk mengemis.
Kini, Senandika sudah berdiri di dekat lampu merah. Dia menggigil, memeluk tubuhnya. Kali ini, tetesan hujan jatuh menusuk kulit. Senandika kesakitan, kedinginan dan juga kelaparan.
Di seberang jalan, bapak mengawasi Senandika dari warung kopi. Sesekali bapak tertawa sembari mengunyah gorengan dan menyeruput kopi hitam.
‘Pak, Dika lapar’ Senandika membatin.
Lampu merah kembali menyala. Mobil dan motor berhenti, mematuhi peraturan. Senandika berjalan, meminta belas kasih dengan mengetuk kaca mobil. Beberapa pengemudi memilih untuk mengacuhkan ketukan Senandika, beberapa lagi memilih untuk membuka sedikit kaca mobil dan menjatuhkan kepingan rupiah.
Dengan tubuh menggigil, Senandika membungkuk untuk sekian kalinya. Memungut kepingan rupiah yang tak dia tahu berapa jumlahnya. Maklum, Senandika baru berusia 7 tahun dan tidak sekolah.
Bapak bilang, sekolah itu hanya membuang – buang uang. Akan ada banyak uang yang dikeluarkan untuk sekolah. Senandika ingin sekali bersekolah, tapi apa daya, dia hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa – apa dan hanya bisa menerima semua yang orang dewasa atur.
Hujan belum juga reda.
Entah sudah berapa kali lampu merah menyala dan Senandika meminta – minta. Tubuhnya sudah tidak terlalu merasakan apa – apa, tapi kepalanya terasa sakit dan matanya mulai berkunang – kunang.
‘Senandika’
Sayup – sayup terdengar seseorang memanggil namanya. Senandika mengedarkan pandangannya, menembus tetesan hujan deras. Dia yakin, ada yang memanggilnya.
“Senandika”
Panggil suara itu lagi, tapi lebih jelas. Senandika menengadah, menatap langit. Di atas sana ada seorang wanita tersenyum di tepi bianglala yang melengkung turun. Senandika menajamkan pandangannya dan kerinduan memenuhi dadanya.
Tanpa pikir panjang, Senandika berlari, menjemput bianglala.
‘Tiiitttt…..’
Sebuah klakson berbunyi panjang disertai decitan ban yang menyilukan. Senandika bergeming, menatap mini bus hitam di hadapannya. Orang – orang berteriak melihat tubuh Senandika terhantam dan terbang sejenak, sebelum akhirnya terjatuh ke aspal basah. Dalam hitungan detik, orang – orang sudah berkumpul, mengelilingi tubuh Senandika yang darahnya terbasuh air hujan.
Samar – samar, Senandika masih melihat wanita yang tadi memanggilnya di tepi bianglala. Wanita yang kini berada dihadapannya. Wanita yang tersenyum lembut, mengulurkan tangannya. Senandika membalas senyuman itu dan berusaha menggapai uluran tangan wanita yang selama ini dia rindukan.
“Ibu…” gumam Senandika sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.
Tubuhnya kejang – kejang dan kosong.
Senandika mati di jemput bianglala….