Menikah Muda?

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri pernikahan salah seorang teman wanita, Adel nama samarannya. Adel menikah dengan seorang pengusaha asal Kalimantan. Adel begitu memuja pria yang kini telah berhasil didapatkannya. Saya turut berbahagia dengan pernikahan Adel, namun disatu sisi saya merasa sedih. Kenapa Adel si wanita cerdas berparas manis itu berkali – kali gagal membina hubungan rumah tangganya?

Sandi, nama samaran bocah lelaki berusia 4 tahun yang menggemaskan adalah anak Adel dari pernikahan keduanya. Sandi bukanlah anak yang ceria seperti anak kecil biasanya. Sandi begitu pendiam dan hanya mau berdekatan dengan orang dewasa yang membuatnya nyaman. Tentu saja, saya adalah orang dewasa yang termasuk kedalam kategori itu :))

Sepanjang acara resepsi pernikahan Ibunya, Sandi telihat murung. Tak ada senyuman yang terbit diwajahnya. Dia hanya diam memandangi Ibu dan Ayah barunya yang berbahagia dipelaminan.

“Kak, kenapa sih Ayah aku ganti – ganti?” Tanya Sandi.

Sebuah pertanyaan yang berhasil membuat hati saya terguncang, lidah kelu serta air mata yang perlahan menggenang. Saya tahu bahwa anak – anak memang memiliki pertanyaan – pertanyaan yang tidak terduga. Namun, pertanyaan itu bukan sekedar pertanyaan tak terduga, tapi juga menyakitkan –setidaknya begitu bagi saya pribadi. Tak ada jawaban yang mampu saya berikan pada Sandi. Hanya sedikit mempererat genggaman tangan yang bisa saya lakukan pada bocah lelaki malang itu. Saya tidak tahu ada berapa banyak anak – anak diluar sana yang bernasib sama atau mungkin saja lebih menderita daripada Sandi. Bayangkan saja, Ibu nya telah menikah untuk ke- empat kalinya di usianya yang belum lama ini menginjak angka 26 tahun. Ketika saya bermimpi untuk pergi berkeliling dunia menggelar pameran lukisan, Adel bermimpi dengan sederhana dan juga mulia ; Menikah di usia muda.

Iya, wanita yang memimpikan menikah di usia muda tentu saja bukan hanya Adel, mungkin hampir seluruh wanita memimpikannya. Sebelum kita berangkat lebih jauh, mari kita lihat definisi Nikah terlebih dahulu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.

Nikah menurut lughat (bahasa) adalah kumpul, sedangkan menurut Syara’ adalah aqad yang  menyimpan diperbolehkannya wath’i (berhubungan suami istri).

Dalam kitab I’anah atthalibin, Muhammad Syata ad-Dimyati menjelaskan bahwa Nikah menurut bahasa ialah berhimpun atau berkumpul.

Secara definisi, nikah adalah suatu proses yang mudah, indah dan jauh dari kata ribet. ‘Nikah itu ribetnya pas proses lamaran sama resepsinya aja’ komentar seorang teman saya yang selalu berharap saya cepat menikah *lol*

Ketika konsep menikah saya adalah sekali untuk seumur hidup, maka saya tidak akan pernah terburu – buru untuk melaksanakannya. Sejujurnya, konsep menikah sekali seumur hidup itu sulit terwujud di jaman sekarang. Mengapa? Karena pernikahan telah bergeser menjadi sebuah pilihan hidup dan pelengkap fasilitas hidup yang bisa diganti – ganti bila sudah tidak cocok.

Hmm.. berbicara lebih lanjut tentang menikah di usia muda, saya mencari di Google tentang batasan minimum seseorang untuk menikah. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), seorang wanita akan lebih siap menikah diatas usia 20 tahun dan pria disarankan menikah di usia 25 tahun. Alasannya, karena usia tersebut dianggap lebih matang secara mental. Pertanyaannya ; Jika lebih matang secara mental, mengapa pernikahan di usia muda menjadi penyumbang angka perceraian tertinggi?

Beberapa teman saya sering sekali membagikan link pada saya melalui Line dan WA tentang keutamaan menikah muda, manfaat menikah muda, keuntungan menikah muda dan mitos – mitos lain yang menyuntikkan racun kehidupan. Saya tahu mereka khawatir jika saya bisa saja mati membusuk dalam perekonomi yang tidak stabil. Sayang, mereka tidak paham bahwa saya tidak mau menikah dengan tujuan sebagai jaminan hidup 😀

Ketika kamu memutuskan menikah sebagai jaminan hidup yang dirasa lebih baik, maka sebenarnya kamu tengah melaju menuju kecelakaan. Pikirkan, ketika kamu bergantung hidup pada seseorang, maka kamu akan terpaksa melakukan apapun yang diharuskan oleh dia –tempatmu bergantung. Diam – diam kamu akan merasa tersiksa, tapi kamu tidak bisa menjerit ataupun memberontak. Kamu hanya mampu menekan semua sakit itu, karena kamu tidak bisa melakukan apa – apa tanpa tempatmu bergantung.

Bagus!

Teruskanlah karena sesungguhnya kamu sedang merakit bom bunuh diri. Bom yang akan meledak suatu waktu, seiring dengan terkikisnya kesabaran yang kamu punya dan ketika bom itu meledak, apa yang menurutmu akan terjadi?

Dalam e-book 7 Kesalahan Wanita yang ditulis Lex dePraxis terdapat tiga akar masalah yang mempersulit wanita. Akar masalah pertamanya adalah Wanita Diracuni Media. Secara tidak kita sadari, media telah meracuni pikiran kita. Membuat kita terlena dengan buaian topik yang menjanjikan kebahagiaan. Entah berapa banyak artikel yang memaparkan keuntungan dan juga manfaat dari menikah muda. Entah sudah berapa banyak orang yang telah kamu temui untuk berdiskusi, membahas tentang menikah muda.

Saya dan kamu mungkin tidak asing lagi dengan alasan – alasan ‘mengapa menikah muda’ dibawah ini. Namun, tidak ada salahnya jika kita bertukar pikiran tentang alasan – alasan manis itu kan 😀

Supaya usia dengan anak tidak terpaut jauh / biar disangka kakak adek sama anak, alasan terpopuler yang saya dapatkan dari lingkungan saya. Jujur saja, saya tidak mengerti mengapa wanita yang memiliki anak tidak ingin terlihat lebih tua dari anaknya? Sebegitu berdosanya kah menjadi tua, ketika tua adalah sebuah kepastian?

Iri pada teman yang sudah menikah. Ketika iri dengki adalah penyakit hati yang harus kamu hilangkan, kamu malah iri pada temanmu yang sudah menikah? Walah… saya sama sekali tidak menduga akan ada orang yang terjangkit penyakit hati dalam hal menikah. ‘Mau sekolah ga ada biaya, ngelamar kerja belum ada yang nyaut. Yaudah, nikah aja. Toh, sama – sama diem dirumah. Kamu liat ga, si A setelah menikah, kehidupannya jadi lebih baik lagi. bisa pergi kesana sini. Belanja ini itu’ cerocos seorang teman yang membuat saya seolah sedang bermimpi buruk. Sepertinya dia lupa bahwa apa yang kita lihat belum tentu keadaan yang sebenarnya.

‘Menikah muda lebih baik, jika untuk menghindari perzinahan’ adalah alasan berikutnya dari lingkaran perteman saya. Alasan ini mencangkup jauh lebih luas lagi karena, berkaitan dengan kepercayaan. Bagi saya pribadi orang yang beralibi seperti ini adalah orang yang nafsuan. Kenapa? Karena, menghindari perzinahan saat berpacaraan itu bisa dengan selalu menghadirkan ayah / ibu / adek / kakak/ kakek / nenek /orang se-kampung ketika kencan. Risih? Gak nyaman? Memangnya kamu pacarannya mau ngapain?

Kalau udah ngerasa cocok buat apa pacaran lama – lama, alasan ini biasanya lebih sering diutarakan oleh orangtua yang khawatir anaknya mendekati perzinahan atau ingin segera menimang cucu dan melepaskan tanggungjawabnya sebagai orangtua. Makanya, gaya pacarannya jangan bikin khawatir donk~

Tabel usia pernikahan dalam sudut pandang ekonomi dan masa depan, apakah kamu pernah lihat tabel itu? Tabel estimasi usia anak pertama berdasarkan usia pernikahan yang terbagi menjadi 4 kategori : Ideal, cukup, waspada dan siaga. Wah.. Saya harap kamu tidak terpacu menikah hanya karena, estimasi usia anak pertama dan usiamu ketika anak kamu melakukan setiap fase penting dalam hidupnya. Betul, sebagai orangtua kita perlu memikirkan biaya untuk membesarkan anak-anak, tapi apakah yang anak-anak butuhkan hanya terbatas pada materi?

Untuk ibadah, mengubah dosa menjadi pahala, sunah Rasulullah SAW, dan yah.. masih banyak alasan yang menjurus kearah kepercayaan.

Dari sekian banyak alasan / keuntungan / manfaat dari menikah di usia muda, alasan paling tidak masuk diakal adalah dengan menikah muda kita bisa membentuk kedewasaan bersama, seiring dengan berjalannya waktu. Ini adalah alasan yang paling sulit untuk diterima, karena bertolak belakang dengan fakta yang ada.

Saya berikan dua fakta berdasarkan survey yang dilakukan oleh pemerintah :

1. Dalam pasal 7 ayat 1 UU perkawinan no. 1 / 1974, batas usia menikah bagi perempuan ialah 16 tahun dan pria 19 tahun dan kamu harus peduli tentang pernikahan usia muda ini. Kenapa? Karena, berdasarkan pengamatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dari data di Kantor Urusan Agama, jumlah perceraian akibat pernikahan di usia muda mencapai 50%.

2. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ), Fasli Jalal, menyatakan bahwa mayoritas pernikahan di usia muda biasanya akan berujung pada perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya. Pernikahan dini juga turut menjadi faktor penyumbang tinggi angka kematian ibu akibat persalinan yang terlalu muda. (dikutip dari Jurnal Perempuan )

Ketika pernikahan di usia muda adalah penyumbang angka perceraian tertinggi, kamu masih ingin menikah muda? Menikah di usia muda dan berlanjut hingga tua, memang bisa terwujud, asalkan kamu menemukan pasangan yang tepat. Pasangan yang tepat bagi saya adalah pasangan yang mampu mengaplikasikan lingkaran 5K (Komitmen, Kepercayaan, Komunikasi, Kompromi, Keintiman) dalam hidupnya. Lingkaran 5K ini perlu dipelihara semuanya untuk menjaga salah satunya bertumbuh. Kalau kamu penasaran dengan lingkaran 5K ini, silahkan kunjungi Kelas Cinta atau bisa juga  mengajukan pertanyaan pada twitter @kelascintacom, @hitmansystem  @LovableLadies.

Dan mari kita kembali melihat kasus Sandi dan teman – teman senasibnya. Mereka adalah korban sebenarnya dari kesepakatan terburu – buru yang diambil ibu dan ayahnya untuk menikah di usia muda yang berlandaskan cinta semata.

Baiklah, dalam kasus Sandi ini kamu bisa mempersalahkan Adel yang berkali – kali gagal mempertahankan rumah tangganya, sehingga menimbulkan kebingungan pada Sandi, anak dari pernikahan keduanya.

Lalu, bagaimana dengan anak – anak lain yang merupakan korban perceraian dari kedua orangtuanya yang ngebet nikah karena, merasa sudah umurnya / sudah mapan / sudah siap / sudah tidak tahan dan sudah – sudah lainnya? Silahkan kamu ketik ‘Jeritan hati anak – anak korban perceraian’ di google. Jika kamu kebetulan mengenal seorang anak yang orangtuanya bercerai, tanyakan pada mereka ; Apa yang mereka rasakan ketika orangtuanya sebelum dan sesudah berpisah? Tanyakan betapa mengerikannya perdebatan – perdebatan orangtuanya disetiap malam, saat mereka hendak bermimpi indah.

Silahkan kamu bertanya pada para psikolog / psikiater/ relationship coach / siapapun dia yang tenggelam dalam dunia konsultasi permasalahan hidup yang kamu percayai mengenai ; Berapa banyak orang yang berkonsultasi setelah menikah / bercerai? Berakar dari manakah masalah mereka muncul?

Dear you…

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Didalamnya tidak hanya berisi kamu dan pasanganmu saja. Masih ada keluargamu dan juga keluarga pasangan yang harus kamu jaga. Jangan lupakan, pernikahan itu akan menghasilkan generasi penerus yang harus kamu bina sekaligus persiapkan kelangsungan hidup mereka dengan sebaik mungkin. Karena itu, pernikahan harusnya dilaksanakan jika keduanya telah siap secara psikis dan juga fisik. Kamu dan pasangan juga wajib bin kudu untuk terus belajar.

Sebagai referensi, kamu bisa mengunjungi :

http://kelascinta.com/relationship/17652 http://kelascinta.com/romansa/sebelum-menikah-di-usia-muda

http://kelascinta.com/relationship/5-alasan-sebaiknya-tak-nikah-muda

http://m.kompasiana.com/zhaly/7-mitos-seputar-menikah-muda_551256dfa33311e656ba8371

Sebagai penutup, saya harap kamu tidak membandingkan kasus pernikahan saat ini dengan pernikahan orang tua di jaman dulu. Karena, sesungguhnya hal itu hanya menimbulkan kekecewaan dan membuatmu memelihara kedunguan yang berakhir dalam kenestapaan. 😉

NB : Tulisan ini pindahan dari blog satu yang sudah di tutup XD

Siap Nikah?

Banyak orang berpendapat bahwa menikah adalah sebuah babak baru dalam hidup yang perlu diraih, dirayakan, diagungkan dan dipamerkan. Pernikahan itu serupa perayaan kebebasan dari hidup di bawah kendali orangtua yang banyak aturan dan tuntutan itu lho.

Whopps! Hahaha…

Sebetulnya saya bingung, kenapa orang – orang begitu sibuk bertanya ‘kapan nikah’ pada orang – orang yang belum menikah? Seharusnya, ini bisa dimasukan kedalam kategori penghinaan, di mana penghinaan itu adalah perbuatan tidak menyenangkan. Dalam hukum pidana,perbuatan tidak menyenangkan, diatur dalam BAB XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang, Pasal 335 KUHP. Beruntung pasal karet tersebut sudah di hilangkan.

“KENAPA KAMU MENIKAH?”

Hei, tidakkah terdengar lucu, jika seseorang bertanya ; ‘Kenapa kamu menikah?’ Rasanya pertanyaan itu tak perlu dijawab, karena sudah jelas orang menikah itu sudah memiliki pasangan. Entah sudah lama berpacaran atau merasa sudah cocok dan tidak perlu menunggu apa – apa lagi. Ada juga yang merasa sudah cukup umurnya, sudah mapan, sukses dan siap nikah.

Wait… Siap nikah?

SIAP NIKAH ITU APA SIH?

Dalam KBBI, siap adalah sudah disediakan (tinggal memakai atau menggunakan saja), sedangkan nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Jadi, bisa disimpulkan siap nikah adalah sebuah kesiapan untuk melakukan ikatan perkawinan.

SESEDERHANA ITUKAH UNTUK MENIKAH?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya ingin memperkenalkan kamu pada seorang teman yang sudah saya kenal lama. Dia adalah seorang pria mapan, tampan dan sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan akbarnya. Hoho… saya sebut pernikahan akbar, karena teman saya ini sudah lama menantikan bergantinya status lajang di KTP-nya. Well, kita beri dia nama samaran, Ilham!

Ilham baru melamar kekasihnya yang baru dipacarinya selama enam bulan dan dia merasa mantap untuk melanjutkan kejenjang pernikahan. Sebagai teman, tentu saja saya berbahagia, meski rasa khawatir selalu hadir dalam benak. Saya khawatir akan kehilangan seorang teman, lagi #hiks.

Setelah acara lamaran beberapa waktu lalu, Ilham sering menghubungi saya. Dia mengeluhkan segala macam persiapan untuk menikah. Persiapan yang tidak hanya menguras uang, tapi juga waktu dan tenaga. Perselisihan kerap terjadi diantara Ilham dan calon istrinya. Bukan hanya sekali, Ilham berkata, ingin mengakhiri rencana pernikahan yang membuatnya stress itu.

Saya mengangguk dan berpendapat, “ya, sudahi saja”. Pendapat yang tidak saya sangka menimbulkan prasangka bahwa saya menaksir teman saya ini #hatcim :))

Tenang, ilham tidak membatalkan pernikahannya, kok. Dia tersentak dengan komentar yang saya ucapkan. Komentar yang tidak senada dengan komentar lainnya, dia bertanya mengapa saya berkata semudah itu (tanpa menyadari bahwa dia lah yang membuat kalimat itu mudah terucap).

Sebagai wanita yang pikirannya sangat ribet tentang pernikahan dan doyan ngemil menyan, saya tentu sudah memiliki gambaran pernikahan yang tidak sebatas resepsi. Ketika mengurus persiapan untuk resepsi saja kamu sudah kewalahan dan ingin menyerah, bagaimana saat harus beradaptasi dengan kehidupan rumah tangga? Kamu akan mengemban tanggungjawab baru dan harus bisa beradaptasi dengan situasi yang baru kamu alami, lho.

Bayangkan saja, kita bersama adik atau kakak saja, bisa terus – terusan bertengkar karena hal yang sama, apalagi dengan orang yang baru setahun atau dua tahun kita kenal dan tiba – tiba tinggal serumah ? Kita akan dibuat terkejut dan mungkin membuatmu kehabisan akal sehat dengan perilakunya yang belum pernah kita lihat selama ini. Jika sudah begitu, apakah kamu akan dengan mudahnya mengatakan ingin bercerai?

“Ya gak mungkin lah! PARAH!” Kata kamu yang mungkin berharap bisa noyor aku saat ini :))

Mengingat biaya resepsi yang telah dikeluarkan, umur pernikahan yang baru berapa bulan, dan mungkin perut pasangan yang mulai berisi, memang tidak mungkin untuk mengatakan bercerai seperti itu. Tapi, akan sampai kapan kamu bisa bertahan? Apakah kamu cukup yakin untuk bisa terus bersabar seumur hidupmu? Kamu yakin dia bisa berubah? Memangnya dia power ranger? Seberapa besar pengaruhmu di hidupnya? Jika dia tidak berubah juga, apa tindakanmu? Bercerai atau jarang pulang kerumah. Memangnya kalau jarang pulang kerumah menjadikan kamu aman dari angin perceraian?

Hehe… jadi merambat kemana – mana yaa~

Baiklah, apakah untuk menikah itu sederhana? Tentu saja sederhana — kalau kamu dan pasanganmu adalah orang yang dewasa, bukan anak – anak yang SD yang main mama-papa :p

Nexttt….

ADAKAH SYARAT DASAR UNTUK ‘SIAP’ NIKAH?

Beberapa teman yang saya ajak chat mengenai siap nikah, mereka lebih berpendapat, selain sudah memiliki pasangan, harus mapan dan usia yang sudah seharusnya menikah 😮 :))

Dalam lingkup pertemanan saya, siap nikah itu masih sebatas resepsi. Mereka tidak ada gambaran sama sekali tentang kehidupan berumah tangga. Beberapa ada yang sempat ikut semacam penyuluhan tentang pra-nikah dan komentar dari mereka hanya ‘ya gitu we’. Komentar ngambang dan cukup membuat saya malas bertanya lebih lanjut.

Jika kamu bertanya pada saya tentang syarat dasar siap nikah, saya akan dengan senang hati menjawab seperti yang teman – teman saya katakan ; memiliki pasangan, mapan, dewasa, dan berakal sehat.

Itu saja?

Yep, itu saja syarat untuk siap nikah. Gak ribet dan bikin ngiler kannn :))

JADI TUNGGU APA LAGI?

BURUAN NIKAH!

Tunggu apa? Tunggu kamu melamar dong!
Wakakakakak…..
Sorry, jadi kayak kode XD

JADI, KAMU SUDAH SIAP NIKAH ?

Siapapun yang merasa usianya sudah cukup, mapan dan memiliki pasangan, sudah pasti menjawab dengan mantap, ‘Ya, saya sudah siap nikah’. Lalu, apakah saya memiliki jawaban berbeda ? Tentu saja tidak, saya juga siap nikah, kok :p

Persyaratan untuk siap nikah itu sama sekali tidak ribet dan tidak ada alasan untuk mengatakan saya tidak siap untuk nikah. CUMA… Saya merasa belum siap untuk mengambil tanggung jawab sebagai istri dan menjadi orang tua.

EH !?
Kumaha sih ieu teh??
Hehe… tarik nafas dan hembuskan dulu, yaa~

Hmm…
Menikah bukanlah sebuah langkah yang harus diambil demi menjawab pertanyaan basa – basi ‘kapan nikah?’. Menikah adalah sebuah langkah besar dan isinya bukan hanya ada kamu dan dia saja. Menikah itu menggabungkan dua keluarga menjadi satu. Membuat kamu dan dia sama – sama mendapatkan keluarga baru. Kamu harus beradaptasi dengan keluarga dia dan dia harus beradaptasi dengan keluarga kamu. Kamu dan dia juga harus beradaptasi memikul tanggung jawab baru sebagai suami dan istri. Setelah memiliki anak, kamu dan dia beradaptasi lagi bagaimana menjadi seorang ayah dan ibu.

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan juga indah. Sesuatu yang saya pribadi impikan terjadi sekali untuk seumur hidup dan jauh dari meja hijau. Pernikahan adalah sebuah pintu untuk menuju ‘masalah’. Loh, kok masalah? #UHUK

Jujur saja, bagi saya menikah bukanlah perkara mudah sekalipun saya sudah siap menikah. Saya harus berpikir panjang mengenai berbagai tanggung jawab baru. Saya perlu bertanya – tanya tentang kesiapan saya mengurus seseorang selama sisa hidup saya. Apakah dia bisa saya ajak bekerjasama untuk menyelesaikan masalah yang pasti akan timbul di antara kami? Apakah saya bisa beradaptasi dengan segala kebiasaan dan keanehannya? Apakah dia bisa menerima saya yang serba ingin tahu dan kadang – kadang melewati batas normal?

Seandainya nanti seorang anak dihadirkan diantara kami, apakah saya dan dia bisa berkerjasama untuk membesarkannya? Apakah dia bisa menerima cara saya mendidik anak? Apakah saya bisa menerima caranya mendidik anak? Apakah kami bisa berkompromi dengan baik untuk mendidik anak?
Jika ada sesuatu yang membuat kami berselisih, dapatkan kami menyelesaikannya bersama? Apakah kami akan bisa tetap memelihara keintiman dalam hubungan kami? Mampukah kami tetap saling mempercayai satu sama lain? Mampukah kami berkompromi dengan segala sesuatu yang tidak kami sukai? Mampukah kami tetap saling terbuka dan mengkomunikasikan segala sesuatunya dengan baik, hingga menemukan penyelesaian bersama? Mampukah kami menjaga komitmen kami?

UDAH, JALANIN AJA DULU!

Ketika saya bercerita panjang lebar, mengemukakan segala kekhawatiran saya tentang pernikahan dan tanggung jawab baru yang mesti dipikul, mereka menanggapinya dengan enteng ‘Jalanin aja dulu’. Kamu tahu, saya ingin sekali mengoncang – goncangkan kepala mereka untuk memastikan kepala mereka ada isinya ==a

Saya tidak bisa membayangkan kehidupan saya yang kacau, karena menikah hanya dengan modal siap dan jalanin aja dulu.

Pliss atulahh…

Jika aku dan kamu, menikah hanya karena sudah siap nikah, tanpa siap menjadi istri apalagi seorang ibu, apa yang kira – kira terjadi pada kehidupan saya? Kehidupan kamu? Stres? Depresi? Bunuh diri? Menyalahkan suami? Menyalahkan anak?

Menyakiti perasaan anak adalah kemungkinan yang paling menyedihkan, tapi sering terjadi dan sulit dihindari. Anak adalah jiwa yang paling lemah dan mudah untuk disakiti  😦

JADI, ALASANMU MENIKAH ADALAH….

Yang jelas bukan karena sudah siap nikah, sudah umurnya, sudah ada pasangan dan kesudahan lainnya.

Orang –orang boleh saja tertawa, mendengar pertanyaan bodoh saya tentang alasan mereka menikah. Orang – orang yang memberikan jawaban standard, semisal : sudah lama berpacaran, saling mencintai dan kalau udah cocok ngapain lama – lama pacaran. Semua orang memiliki jawaban dan pertimbangan masing – masing tentang alasan mereka memutuskan menikah. Namun, saya tidak ingin memberikan alasan sekedar dari perasaan saja. Perasaan itu mudah berubah, bahkan cinta sejati saja hanya berupa ilusi, jika dilontarkan di awal hubungan.

Siap nikah dan siap memikul tanggungjawab baru adalah hal yang berbeda. Menikah tidak hanya persoalan gengsi untuk mengadakan resepsi, tapi tentang bagaimana merawat hubungan yang sudah terikat janji suci pernikahan.

Saya tidak mau anak – anak saya mendengar sebuah kisah yang dibuat – buat dan dirasa romantis untuk diceritakan. Saya tidak mau membuai mereka dengan rangkaian peristiwa manis, yang membuat saya mengiyakan tawaran seseorang untuk mendampingi hidup saya.

Jika seseorang bertanya, alasan saya akhirnya memutuskan menikah, saya akan memberikan jawaban : “karena dia saya nilai mampu diajak bekerjasama untuk menjalani hidup bersama”. #uhuk #ciee XD

Namun, seandainya komitmen tersebut tidak berlangsung selamanya, saya bisa menjawab “ternyata kami tidak bisa bekerjasama untuk menjalani hidup bersama” :p

Aku butuh kamu, kamu butuh aku. Tapi, hubungan cinta itu butuh skill dan berumah tangga itu butuh kerjasama. Tidak hanya aku dan kamu melulu, karena itu bisa membuatmu menangis pilu 😀

Kenapa Harus Memiliki Kriteria Pasangan ?

Hai…

Kamu sudah memiliki pasangan belum ?

BELUM !
Sama dong XD

“Kenapa gak mau sama dia” atau “Kamu mah terlalu pemilih” adalah komentar yang sering mampir ditelinga saya. Saya dianggap terlalu pemilih bahkan ketika saya tidak sedang memilih atau melakukan seleksi.

Ketika saya mengungkapkan bahwa saya memiliki kriteria pasangan yang poinnya sampai dua puluh dan mungkin masih bisa berkembang, seorang teman saya mengatakan bahwa itu terlalu banyak dan lebih cocok untuk menjadi ensiklopedi daripada kriteria pasangan.

Dia tertawa dengan list kriteria pasangan yang saya miliki. Tapi saya tidak mentertawakan dia yang tidak memiliki kriteria pasangan. Saya justru kasihan, karena dengan memiliki sedikit kriteria pasangan, dia masih tetap menjomblo 😦

Memiliki kriteria pasangan, bukan berarti kamu seorang pemilih, justru kamu adalah orang yang selektif. Pemilih yang sebenarnya adalah mereka yang tidak memiliki kriteria pasangan, tapi masih saja sulit mendapatkan pasangan.

MEMANGNYA, PEMILIH DAN SELEKTIF ITU BEDA ?

Tentu, pemilih dan selektif itu berbeda, meski beberapa orang menganggapnya itu hal yang sama.
Selektif berarti memilih berdasarkan seleksi. Seleksi sendiri merupakan pemilihan yang dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik. Kalau pemilih, memang hanya memilih – milih saja.

Untuk seorang pemilih, saya membayangkannya seperti seorang wanita yang doyan belanja. Mereka hanya memilih – milih dan ketika ada yang disuka, mereka bungkus tanpa pikir panjang akan terpakai atau tidak. Mereka berbelanja tanpa tahu pasti apa yang mereka cari, mereka hanya membuang – buang uang dan juga waktu untuk memilih yang mereka rasa bagus saja.

Berbeda dengan seseorang yang selektif, mereka tahu apa yang mereka butuhkan dan memilih yang terbaik dari apa yang mereka temukan. Hal ini saya bayangkan seperti saat juri mengumpulkan kontestan, lalu melakukan penyeleksian dengan tujuan menemukan yang terbaik.

Nah!
Karena itu, memiliki kriteria pasangan tidak menjadikan kamu seorang pemilih. Justru kamu adalah orang yang selektif dan selektif dalam memilih pasangan adalah hal yang harus dilakukan!

HARUSKAH KITA MEMILIKI KRITERIA PASANGAN?

Tidak harus, jika kamu hanya ingin bermain – main untuk hidup dan juga masa depanmu. Lho, kok main – main?

Menurutmu, bagaimana seseorang memilih pasangan jika dia tidak memiliki kriteria pasangan?

Uhuk…
Yang terbayang dalam kepala saya adalah orang yang asal menerima siapa saja untuk menjadi pasangannya. Seseorang yang masih ingin bermain – main demi menghindari pertanyaan ‘mana pacarnya?’ dan itu menyedihkan 😦

Syarat utama untuk mendapatkan pasangan adalah memiliki kriteria pasangan. Kenapa harus memiliki kriteria pasangan? Karena dengan memiliki kriteria pasangan, kita tahu apa yang kita mau dan kita cari. Kriteria pasangan adalah salah satu panduan yang mesti kita punya, agar tidak menghabiskan banyak waktu dengan orang yang tidak sesuai dengan apa yang kita mau.

Memiliki kriteria pasangan, sering disebut – sebut sebagai masalah seseorang belum berpasangan dan percayalah bahwa itu bukan masalah sebenarnya. Masalah sebenarnya adalah ketika kamu sudah memiliki kriteria pasangan tapi tidak memperluas pergaulanmu.

Kamu kesulitan mencari seseorang yang sesuai kriteria pasanganmu, karena kamu hanya bertemu dengan orang – orang yang sama. Orang – orang yang tidak memenuhi standar pasanganmu.

SETELAH MEMILIKI KRITERIA PASANGAN, SAYA HARUS APA?

Setelah memiliki kriteria pasangan, kamu harus berdo’a kepada Tuhan, agar diberikan jodoh sesuai dengan kriteria yang kamu tuliskan :3

Ralat!
Setelah memiliki kriteria pasangan, tentu saja kamu harus mencari orang yang masuk kedalam kriteria pasanganmu. Caranya adalah dengan meningkatkan Penampilan, Pergaulan, Pengetahuan dan Kepribadian.

Semua orang pada dasarnya sudah memiliki penampilan, pergaulan, pengetahuan dan kepribadian, tapi harus selalu ditingkatkan, mengingat prosesnya yang seumur hidup. Saya katakan seumur hidup, karena jaman semakin maju, teknologi semakin berkembang, masa iya kamu mau begitu – begitu saja tanpa perubahan?

Jadi, perluaslah pergaulanmu dan tingkatkan penampilan, pengetahuan dan kepribadianmu. Hal ini tidak hanya akan membuatmu menemukan pasangan yang sesuai kriteriamu, tapi berdampak pada kualitas diri kamu dan lingkungan sekitarmu.

APAKAH SEMUA POIN KRITERIA PASANGAN HARUS TERPENUHI?

Tidak ada manusia yang sempurna. Oleh sebab itu, tidak semuanya harus terpenuhi. Ada poin – poin yang saya rasa bisa dinegosiasikan. Untuk saya pribadi, saya menjadikan 3 poin teratas itu tidak untuk diganggu-gugat.

Semakin banyak poin yang berada pada diri calon pasangan kita, tentu semakin baik. Kenapa? Karena hal tersebut membuat kita hanya perlu sedikit beradaptasi dengannya. Membuat kita menjalani hubungan tanpa banyak cekcok ini dan itu. Ya, kecuali kamu mencari pasangan untuk ribut, sih XD

BISIKAN DARI SAYA

Berhenti menjadi pemilih dan ambil bagian sebagai si selektif. Segera buat list kriteria pasanganmu, perluas pergaulan, tingkatkan penampilan, pengetahuan dan kepribadianmu. Jangan tunggu nanti – nanti, karena jodoh tak pernah diam menanti kamu yang tidak bergerak dan hanya menunggu sambil update status meratapi nasib ke-jomblo-an kamu :p