Obrolan pagi ; Ar-Rahman

“Kenapa Ar-Rahman?” tanya seorang pria yang menolak saya panggil Ustadz.

Saya tersenyum dengan ingatan yang memutar kenangan saat tangisan dan juga senyuman bahagia, karena sebuah ayat dalam surah Ar-Rahman. Sebuah ayat yang diulang – ulang sebanyak 31 kali itu sempat membuat saya muak dan juga jatuh cinta.

“Seperti yang pernah saya ceritakan, jalan yang saya pilih ini, sesuai ajaran Islam tapi bertolak belakang dengan pengetahuan yang saya miliki”

Pria yang menolak dipanggil ustadz itu mengangguk, dia tahu pemikiran saya dalam hal relasi cinta. Hmm… jujur saja, saya ini jarang cocok dengan seseorang yang tahu banyak tentang agama, karena banyaknya yang langsung naik pitam dan mengeluarkan jurus hadist berserta penghakiman.

Kebetulan, saya ini menyandang label ‘anak gagal atheis’ dan untuk menjaga saya tetap gagal, tentu saya butuh orang – orang yang tidak memiliki jurus hadist dan penghakiman itu. Jadi, saya membatasi diri untuk bertanya ini itu pada orang-orang yang bisa membuat saya sukses menjadi agnostik 😀

” Nikmat mana lagi yang kamu dustakan. Tidakkah itu bagus diingat untuk meredam segala amarah dan juga kecewa yang hadir dalam sebuah rumah tangga?” lanjut saya, diakhiri dengan pertanyaan dan juga pernyataan.

Pria dihadapan saya itu tersenyum sembari mengangguk – anggukan kepalanya.

“Menarik! Saya kira, kamu ingin viral di dunia maya, mengingat kamu pun tidak bersedia di adakannya resepsi”

“Hahahaha…..” tawa kami pecah.

“Nanti, jangan lupa bantu like dan share ya, ka Us!” kelakar saya yang sedikit ngeri dengan komentar netizen masa kini.

“Entah kenapa, saya tersentuh dengan alasan kamu menginginkan ar-Rahman. Membayangkan segala sesuatu yang terjadi akan dilihat sebagai nikmat” ucap pria yang menolak saya panggil ustadz.

“Manusia tidak ada yang sempurna. ‘Fa bi ayyi ala’i robbikuma tukazziban‘ lah yang akan membuat dia sempurna, sekalipun dia akan membuat kepala saya meledak. Insya Allah…” sahut saya, membayangkan kepala yang meledak menahan kesal.

“Dan saya percaya, pria yang kelak menikah denganmu itu benar – benar beruntung. Kekhilafan yang dia buat hanya akan kamu terima sebagai sebuah nikmat”

“Dan mungkin saya menjadi tidak beruntung jika dia terus – terusan khilaf” kata saya, cemberut menelan pil kesabaran.

Pria yang menolak saya panggil ustadz itu tertawa melihat saya yang cemberut. Tawa yang kemudian menular dan membuat saya tertawa juga.

Fa bi ayyi ala’i robbikuma tukazziban…

Hallo, orang baik :)

Orang baik itu orang yang bagaimana sih? Orang – orang bodoh yang biasanya dimanfaatkan oleh kamu? Hahaha…

Menjadi orang baik memang terkadang ngeselin, apalagi kalau kamu tergolong orang yang ‘gak enak’ menolak. Kyaaa… ladangnya buat para benalu tuh XD

Saya agak kesulitan dalam mendeskripsikan orang baik itu orang yang seperti apa. Saya yakin semua orang itu dianugerahi kebaikan dalam hatinya beserta keburukan juga. Jadi, setiap orang itu baik hanya kadarnya saja yang berbeda – beda kan ?

Beberapa kali saya merasa menjadi orang yang ‘terlalu baik’ karena selalu saja direpotkan oleh beberapa teman yang memanfaatkan kebaikan saya. Biasanya saya membatasi kebaikan yang saya berikan pada siapapun.

Dih, kok dibatasin?

Hahaha…. yep, harus dibatasi, demi terciptanya lingkungan pertemanan yang sehat dan saling menguntungkan. Kenapa saya sebut saling menguntungkan? Karena dalam pertemanan kita harus saling membantu.

SALING membantu.

Saya ini tidak bisa terus – terusan memberikan waktu, tenaga dan mungkin uang, pada kamu yang hanya ingin memberikan saya kerepotan saja.

Misalnya…

Saya tidak akan pernah keberatan jika ada yang mau nebeng/bareng untuk mencapai tujuan yang sama. Tapi, jika kamu ada urusan lain, kamu tidak seharusnya meminta saya mengantarkan kamu menyelesaikan keperluanmu kan? Bisa jadi, saya berbaik hati mengantarkan kamu ketempat yang harus kamu tuju, tapi itu tidak seharusnya kamu anggap kebiasaan yang pasti akan saya lakukan.

Kamu tidak perlu membalas kebaikan yang seseorang berikan, tapi usahakan kamu juga berlaku baik pada dia dan tidak selalu merepotkannya. Dia bisa saja mengatakan ‘gak apa-apa’, tapi belum tentu dia benar tidak apa – apa kan?

Menerima kebaikan dari seseorang memang membahagiakan, menyenangkan, menguntungkan, meringankan dan cukup berkata terima kasih. Lalu, tergoda merepotkannya lagi, demi meringankan beban sendiri, keuntungan sendiri, kebahagiaan sendiri, terus-menerus menjadi benalu tidak tahu malu.

Saya selalu mengusahakan diri saya untuk tidak merepotkan orang lain. Meminta bantuan hanya karena saya benar – benar butuh bantuan, bukan sekedar sekalian. Biasanya yang saya repotkan dengan label sekalian itu hanya orang yang benar – benar sudah saya kenal lamaaaa :))

Saya juga mudah gemas pada orang baik yang terus – menerus diam saat dimanfaatkan. Tidak semua orang berhak menerima kebaikan kamu secara berlebihan sampai  mereka lupa diri dan kamu menyiksa diri. Mungkin kamu ikhlas membantu mereka, tapi mereka hanya memanfaatkan kamu saja, sih, buat apa?

Baik itu harus, tapi jangan mau dimanfaatkan!

Perlu kamu sadari, bahwa para benalu itu hanya menghambat perkembangan kamu. Mereka adalah orang – orang yang akan merasa dirugikan jika kamu berubah dan menemukan orang – orang baru yang membantu perkembangan kamu. Siapa yang membantu perkembangan kamu? Teman – teman yang tidak hanya menerima kebaikan kamu, tapi juga berbagi kebaikan bersamamu.

Hmm…

Sulit dipahami gak sih?

Kalau sulit, boleh lho… ninggalin komen ngajak ribut atau ngajak ngopi via line ke herdianiwulan 😉

Baiklah….

Tetaplah kamu menjadi orang baik dan pastikan bebas dari benalu, yaaa~

HABIBIE YA NOUR EL AIN

Hei, saya baru saja selesai membaca novel uni Maya Lestari GF yang Habibie Ya Nour El Ain dan tiba – tiba saja jatuh cinta XD

Novel ini menceritakan tentang Nilam dan Barra Sadewa dengan latar pesantren. Sebuah kisah cinta yang malu – malu manis.

Hmm…
Nilam, seorang gadis yang percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang berada diluar dimensi manusia. Tidak punya ruang dan waktu. cinta diciptakan dengan dimensi dan logikanya sendiri dan diciptakan Tuhan untuk masuk ke alam manusia dengan cara yang tidak mampu kita pahami. Bagi Nilam, cinta berkerja dengan cara yang tidak dimengerti dan menciptakan keadaan – keadaan yang tidak mampu dipahami.

Barra Sadewa, seorang anak SMA yang mengaku tidak percaya Tuhan dan terpaksa mondok dua minggu di Pesantren. Orang – orang bilang, Barra adalah adalah anak yang nakal dan seorang pemberontak. Namun Buya menilai, bahwa Barra adalah anak yang baik, hanya saja butuh diperhatikan.

Barra dan Nilam…
Pertemuan diantara mereka hanya sebentar – sebentar dan percakapan diantara mereka hanya singkat – singkat, tapi jejaknya membekas di hati dan pikiran mereka. Bertahun – tahun Barra dan Nilam, menuangkan cinta dalam surat – surat yang tak pernah dikirimkan. Sampai akhirnya, Barra kembali mendengar kabar bahwa Nilam akan menikah dengan Haris 😦
.
.
.
Saya benar – benar menyukai novel ini. Saya adalah Barra Sadewa, seorang anak yang merasa tidak pernah di pelihara, namun sayangnya saya tidak pernah / belum bertemu seseorang seperti Buya. Novel ini tidak hanya berisi kisah cinta antara Barra dan Nilam, tapi ada nilai – nilai islami yang terselip di dalamnya dan sangat wajib untuk kamu baca!

Batas

‘Ada batas yang harus terbalas’

Aku pernah begitu membencimu, hingga membunuhmu adalah hal yang aku inginkan. Kematianmu adalah sesuatu yang akan ku rayakan dengan suka cita. Kau pikir aku mengerikan? Ingatlah, apa yang telah kau lakukan padaku. Seberapa banyak luka yang telah kau buat, hingga aku hanya berharap kematianmu.

Tidakkah kau sadari apa yang telah kau lakukan padaku?

Kau telah mengubahku menjadi monster. Kau membenciku cukup banyak, ketika aku masih berpikir, akan ada saatnya kau menyayangiku. Belasan tahun aku bertahan mengemis pengakuan dan juga kasih sayangmu. Belasan tahun aku berkorban dan bertahan menghadapi hidup yang jauh dari rasa bahagia. Ku biarkan kau mengatur hidupku. Ku lakukan semua perintahmu meski kau bukan raja apalagi tuhan.

Bertahun – tahun aku menjalani peran sebagai si bodoh penimang luka. Me’nina-bobo’kan luka yang kau torehkan. Lambat – laun semua luka pun menggeliat, menuntut balas. Luka – luka yang secara perlahan bertransformasi menjadi sebentuk keberanian untuk menghentikan segala luka yang terpendam. Keberanian untuk mendendam tanpa pengampunan.

Hujan turun dengan deras, saat kau lemparkan aku kejalanan. Memangnya kau pikir luka itu akan hilang terbasuh hujan? Ketika puluhan pasang mata menyaksikan penderitaanku, haruskah luka itu bersih oleh hantaman hujan di tubuhku?

Aku mengepalkan tangan. Mencoba menahan diri untuk melawan. Kau menendangku tepat di pipi, hingga harus kucecap rasa darah disudut bibir dengan pipi yang panas berdenyut – denyut. Tanpa perintah, air mata pun mengalir.

Hidup tak harusnya begitu, sayang…

Aku berusaha bangkit namun tubuhku terlalu letih untuk bekerjasama. Tetesan hujan seolah telah melemahkannya, hingga ambruk di atas aspal basah. Mataku masih berkaca – kaca menatapmu, berharap masih ada belas kasihmu. Sayang, harapan selalu hanya sebuah harapan. Kau banting pintu rumah, memilih tak mempedulikanku. Memberi kesempatan manusia – manusia yang jatuh iba dan berhati nurani untuk turun tangan.

Untuk inikah aku dilahirkan?

* * *

Aku terbangun dalam ruangan yang didominasi warna putih. Seorang ibu paruh baya tertidur dalam posisi duduk disamping ranjang. Entah sudah berapa lama aku tertidur dengan infus serta perban – perban yang membalut anggota tubuh. Pipiku masih terasa sakit dan sudut bibir yang perih.

Baru saja aku berniat membangunkan wanita paruh baya yang tidur lelap, seseorang telah lebih dulu membuka pintu dengan kasar. Masih kuingat jelas kedua mata yang menunjukkan amarah. Tubuhku belum pulih benar, namun orang itu menarik selang infus dari pergelangan tanganku dengan kasar. Membuatku kesakitan yang tidak berakhir di situ. Dia menjumput leher seragam pasien yang kukenakan, hingga menyentuh dagu. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Bocah keparat!” Katanya dengan rahang yang mengeras.

Aku terlalu pengecut dan juga lemah untuk membalas. Wanita paruh baya terjaga. Kubiarkan orang itu memakiku semaunya. Aku telah terlatih menimang luka dan memupuk benci. Dengan satu hempasan, dia berhasil menjatuhkanku dari ranjang rumah sakit. Membuatku tersungkur di atas keramik putih yang dingin.

Hei, kenapa tidak kau bunuh saja aku?

Ku rasakan dengan jelas detik – detik perubahan ketika kedua mataku memanas dan tergenang. Rasa sesak didada telah mendorong air mata untuk mengalir. Andai setiap luka dapat selesai hanya dengan tangisan. Andai setiap air mata menghilangkan rasa perih tak terperi. Kubebaskan mereka dengan suka cita, agar aku tak perlu lagi mendendam.

Kilatan luka berkelebat dalam ingatanku. Luka yang begitu menyakitkan akibat harapan tak pernah terwujud nyata. Seiring dengan ingatan pedih yang bermunculan, tanganku terkepal. Dendam terlanjur menjalari jiwa dan memberi kekuatan untuk membela diri. Tidak ada seorangpun yang pantas melukaimu. Tidak ada seorangpun yang berhak menghadang kebahagiaanmu.

Tiba – tiba kau menarik rambutku. Memaksaku berdiri dalam kesakitan lagi. Wanita paruh baya itu menjerit ketakutan. Tak cukupkan perban – perban yang membalut tubuh ini menahanmu berbuat keji?

CUKUP!

Aku muak dengan tingkah kasarmu. Ku tepis tangan tuamu dengan luka yang mengamuk. Tak ada lagi yang harus ku toleransi dari segala tindak kasarmu.

Masih yakinkah kau menyandang gelar manusia?

“BERANI KAMU !?!” Katamu dengan tangan kanan yang terangkat.

Wanita paruh baya itu menjerit meminta bantuan dan memohon untuk berhenti secara bergantian. Telah kucecap rasa darah disudut bibirku lebih dari sekali. Apalagi yang harus kutakutkan dari layangan tangan kananmu ? Pipi yang panas berdenyut – denyut dan bengkak pun sudah sering ku rasakan. Masih haruskah aku takut dengan tangan yang mudah melayang itu?

“ Sejak usiaku 8 tahun, aku telah akrab dengan tangan itu” Kataku, terkekeh menahan nyeri disekujur tubuhku.

Orang – orang telah berkumpul, mencoba menenangkan. Ibu paruh baya dan seorang suster membantuku berdiri dengan benar. Beberapa orang memelukmu dengan hangat dan mendorongmu menjauh. Kau terus mengumpat dan aku tetap tertawa.

Hei, ada apa dengan kita?

***

Orang bilang, ada suka ada duka. Namun yang aku rasakan, ada duka, ada lara dan tak perlu lagi tanyakan luka. Ingatan selalu membawaku berjalan – jalan mengetuk pintu kesedihan. Aku takut, namun tak lari. Orang bilang, rasa takut harus dihadapi, karena tak bisa terus – terusan dihindari. Ku hadapi semua ingatan keparat itu dengan tangisan yang tiba – tiba saja turut hadir. Aku benci jika aku harus menangis seperti itu. Terlalu terlihat tak punya tempat berbagi. Ya, aku sendirian.

Waktu tak pernah berjalan terlalu cepat ataupun terlambat. Waktu selalu tepat dan kitalah yang seringnya terlambat. Keterlambatan yang membuatmu cukup untuk menyesali kesabaran yang lebih cocok disebut kebodohan. Ya, aku telah tumbuh menjadi gadis bodoh yang hidupnya dipermainkan oleh orang yang di berkahi usia tua. Memanfaatkan ketakutan dan ketidakberdayaan anak dengan ancaman mendepaknya dari rumah.

 Tak ada hari yang kulewati tanpa skenario pembunuhan. Aku memikirkan banyak cara dan memilah mana yang menyakitkan. Kematian secara perlahan – lahan tentu pilihan terbaik. Memberikan tusukan berkali – kali, hingga darah mengalir dimana – mana. Aku merasa puas untuk sejenak, sebelum akhirnya aku bertanya; ‘Apakah luka – luka itu sebanding?’

Ke esokkan harinya, aku memikirkan kembali cara untuk merayakan kematian. Memotong – motong tubuhnya dan menyebarkannya di jalanan. Aku tertawa puas, ketika membayangkan kau memohon untuk diberikan kehidupan. Lalu, pertanyaan itu berbisik kembali ; ‘Apakah tubuh yang terpotong – potong itu sebanding dengan luka belasan atau sudah memasuki puluhan tahun yang kau rasakan itu?’

Aku pun memikirkan kembali cara lain. Melemparkan tubuhnya ke dalam kandang buaya, sepertinya ide bagus. Melihat tubuhnya dicabik – cabik rahang yang memiliki kekuatan luar biasa. Dari yang pernah ku baca, tekanan gigitan buaya setara dengan gigitan anjing Rottweiler dan Hyena. Sungguh akan menjadi perayaan kematian yang meriah. Lantas, bisikan itu datang lagi. Menghancurkan kemeriahan perayaan kematian. ‘Kematian yang akan banyak diliput dan menjaring banyak simpati. Kematian yang tidak buruk’ begitulah bisikkannya.

Bisikan – bisikan keparat yang mengurungkan niatku membunuh dan hanya memikirkan cara terbaik untuk merayakan kematianmu secara berulang. Tidakkah aku telah hidup dengan begitu mengerikan sekaligus menyedihkan?

* * *

Mentari bersinar dengan hangatnya, kau datang dengan sebatang rokok yang diapit bibirmu. Tak ada yang kau katakan, namun ingatan terlanjur membawaku pada peristiwa dua hari lalu. Ketika kau datang dan mengatakan akan menjualku pada orang tua hidung belang berkelebihan harta. Aku mengatakan tidak, lalu kau menendang perutku dan mematikan rokok di punggung telapak tanganku.

Rasa sakit yang belum hilang dan luka lama bermunculan. Menumbuhkan keberanian, mengalahkan ketakutan. Degup jantung tak lagi berirama, nafas pun mulai tak beraturan. Tanganku meraba dinding yang menggantung sebilah pedang oleh – oleh dari Kalimantan. Tekadku terlalu kuat untuk dikalahkan.

Sayang, inilah saatnya mengakhiri semuanya…

Tanpa banyak kata. Tanpa ada yang harus dipertimbangkan. Ku hunuskan pedang sepanjang 60 cm itu, tanpa peduli dimana ia akan berlabuh. Bau amis mulai mengalir dari daging yang terobek. Kau merintih perih, aku menambah tekanan, agar pedang itu menembus tubuh, hingga kau terus kesakitan. Bunda menjerit melihat cipratan darah di tubuhku, sementara aku merasa puas!

Telah kubalaskan segala kekecewaanku atas perlakuannya. Kau memandangku dengan tatapan kesakitan. Bunda berteriak minta tolong. Aku tertawa, begini ternyata rasanya membalaskan dendam.

Manis…

* * *

Tak ada penyesalan yang tersisa dari apa yang telah kuperbuat. Aku terkagum – kagum pada tanganku yang tanpa diduga mampu menusuk seseorang. Masih teringat dengan jelas ketika, mata pedang itu menembus kulit dan mengeluarkan darah. Tak pernah kuduga sebelumnya, jika darah bisa begitu menggairahkan. Membuatku ingin melihatnya lebih banyak lagi dan lagi. Gila? terserah.

“Seseorang ingin bertemu denganmu” kata seorang wanita berseragam cokelat.

Aku mengangguk dan berjalan dibelakang wanita berseragam tanpa menduga – duga siapa yang berkunjung. Tak ada yang kutunggu apalagi ingin kutemui. Berjalan di lorong panjang dengan puluhan pasang mata yang mengamati, mencibir dan juga menghujat. Aku tak peduli.

Aku pun sampai disebuah ruangan bermeja dan berkursi panjang yang mengingatkanku pada gerai penjual bakso di pinggir jalan. Wanita berseragam itu memintaku untuk duduk dan menunggu sebentar. Aku mengangguk dan tak lupa tersenyum. Ya, sekarang aku bisa tersenyum.

Aku sendiri terkejut dengan senyumanku yang mengembang. Rasanya telah bertahun – tahun senyuman itu bersembunyi dalam kesedihan yang memeluk jiwa. Tak sekalipun aku menemukan alasan untuk tersenyum. Dimataku semua hanyalah kepedihan. Aku dibesarkan dengan tempaan luka dan larangan menjatuhkan air mata. Menahan semua duka dalam lubuk hati dan mengenangnya dalam kepingan ingatan. Tak pernah kutahu bahwa senyumku bisa semenawan ini.

Tiba – tiba, darahku kembali bergejolak. Seseorang muncul dihadapanku dengan wajah yang tak lagi beringas. Wajah yang memudarkan senyuman manis diwajahku. Wajah yang mengaktifkan kembali sinyal siaga di seluruh otot sarafku. Diam – diam aku mengumpat ; Bajingan itu belum wafat!

* * *

“Maafin, Bapak Nak” ucapnya lirih dengan air mata yang meluncur dari kedua sudut matanya.

Aku tercekat.

Mataku memanas dan kerongkonganku mengering seketika. Langit seolah jatuh menimpaku. Meremukan tubuhku. Meruntuhkan seluruh dendamku. Tubuhku mulai limbung. Aku merasa ‘kosong’ dan air mata mulai mengalir hangat di kedua pipiku. Aliran yang semakin lama semakin deras dan disusul suara sesegukan dari bibirku yang gemetaran.

“Maafkan perlakuan kasar, Bapak” ucapnya lagi, mengusap kepalaku.

Tak ada kata yang mampu ku ucapkan. Kepingan ingatan luka tak lagi kutemui. Semuanya telah hilang dan terhanyut bersama air mata yang mengalir. Aku tak mengerti dan menerka – nerka apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Dimana luka – luka itu bersembunyi? Mengapa kini aku tak lagi menemui mereka?

“Bisakah kamu memaafkan, Bapak?” Tanyanya dengan mata tua yang berkaca – kaca.

Tak ada yang bisa kukatakan. Segala sesuatunya terasa sudah terlambat.

-selesai-

Inner Beauty vs Outer Beauty

Setiap wanita memiliki fokus kecantikan yang berbeda – beda. Ada yang mengatakan ‘Inner Beauty lebih penting daripada Outer Beauty’, ‘Outer Beauty lebih penting daripada Inner Beauty’ dan ada juga yang beranggapan ‘Inner Beauty dan Outer Beauty itu sama pentingnya’.

Hmm…

Sebelum berangkat lebih jauh, saya ingin menceritakan dua teman perempuan yang menjadi inspirasi saya untuk menulis ini ; Mona dan Lisa, tentu saja itu nama samaran yang saya berikan.

Mona adalah salah seorang perempuan yang mengagungkan inner beauty. Dia selalu mengulang petuah dari Kahlil Gibran, ‘Beauty is not in the face, beauty is a light in the heart’, saat Lisa membicarakan tentang perawatan kecantikan. Ya, inner beauty adalah kecantikan yang berasal dari dalam, meliputi ; kepribadian, kecerdasan, keanggunan, kharisma dan segala sesuatu yang berkaitan dengan faktor psikologis.

Lisa kebalikan dari Mona. Lisa adalah perempuan yang mengutamakan outer beauty dan tentu saja dia adalah perempuan cantik, berpenampilan menarik. Lisa percaya bahwa penampilan merupakan cermin kepribadian. ‘Penampilan luar saja dibenahi apalagi dalamnya’, begitulah kira – kira pandangan Lisa. Pandangan yang membuat Lisa selalu merasa fisiknya kurang atau tidak sesuai standar ‘cantik’nya. Membuat Lisa kerap kerepotan mencari cara untuk memperbaharui apa yang dirasanya kurang.

Tidak ada yang salah dengan pemikiran Mona dan Lisa, sampai akhirnya mereka mengeluhkan tentang kehidupan romansa mereka yang tidak berjalan lancar. Mona selalu gagal mendapatkan pria idamannya, sementara Lisa selalu diputuskan dalam waktu yang singkat dengan alasan tidak jelas.

“Loh, kok gitu? Mona yang kualitasnya baik, kok gagal mendapatkan pria idaman? Lisa yang cantik dan menarik, kok diputusin?”

Inner beauty adalah sesuatu yang sifatnya tidak terlihat dan tidak bisa terukur. Karena itu juga, inner beauty terkadang dijadikan tameng untuk melindungi rasa rendah diri seorang wanita. Outer beauty yang sifatnya terlihat juga, sudah bisa dipermak seiring dengan perkembangan teknologi. Lalu, apakah itu benar – benar cantik?

Dalam kelas Lovable Lady, coach menyampaikan, “if you don’t like what you see in the mirror, change it!” Tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Meskipun, beberapa orang bisa saja menjadikan kalimat itu sebagai sebuah ‘pembenaran’ untuk melakukan ‘permak’ tubuh atau wajah.

Sayangnya, seorang Lovable Lady tidak mungkin sampai sejauh itu. Karena, seorang Lovable Lady adalah wanita yang telah mencintai dirinya sendiri. Mereka adalah wanita cerdas yang memiliki pemahaman akan nilai – nilai diri sendiri, sehingga bisa menghargai diri sendiri dengan segala kelebihan serta kekurangannya. Mereka adalah wanita yang telah diedukasi bahwa cantik hanya sekedar batas bawah dari potensi seorang wanita dan jika hanya stop pada cantik saja, sama dengan merendahkan diri sendiri.

Saya ingin kita sama – sama belajar dari kasus Mona dan Lisa, tentang pandangan mereka yang lebih mementingkan salah satu faktor kecantikan. Outer beauty dan inner beauty adalah dua kecantikan yang berbeda namun saling berkaitan. Outer beauty merupakan faktor untuk menarik seseorang mendekat dan inner beauty adalah faktor yang membuat seseorang betah bersamamu. Maka dari itu, dalam kelas Lovable Lady kita dibekali kalimat, ‘pikat dia dengan outer beauty, ikat dengan inner beauty’.

Kamu bebas memilih mana yang ingin kamu utamakan, entah itu inner beauty atau outer beauty. Selama kamu melakukannya untuk dirimu sendiri, bukan untuk memenuhi standar orang lain. Jadilah cantik yang sesungguhnya, bukan cantik – instan – kalengan, yang bisa membahayakan dirimu 😉

Spread the love!

Mencintai diri sendiri…

“Aku mencintai dia dan cuma dia yang bikin aku bahagia” adalah kalimat populer yang sering diucapkan secara drama dan dianggap tulus mencintai.

Semua orang selalu menjadi lebih cerewet ketika ditanya alasannya mencintai seseorang. Dia akan menceritakan berbagai hal yang disukai dari orang tersebut dan membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung, karena memilikinya. Namun, semua itu berbanding terbalik, ketika seseorang mengatakan ‘kamu harus mencintai dirimu sendiri’.

Kamu akan diam seribu bahasa dan kebingungan mencari alasan untuk mencintai diri sendiri. Tidak banyak orang yang mengerti mengapa perlu mencintai diri sendiri. Bisa jadi, karena merasa sudah mencintai diri sendiri atau merasa itu adalah hal egois dan juga narsis yang tidak perlu dilakukan. Perlu kamu ketahui, bahwa mencintai diri sendiri adalah syarat utama untuk bahagia dan membuatmu pantas dicintai.

Lalu, mengapa kamu harus mencintai diri sendiri?

1. Kamulah yang menempati tubuhmu
Kamu tidak boleh memperlakukan tubuhmu dengan buruk, karena kamu akan tinggal dalam tubuh itu seumur hidupmu. Karena itulah, kamu memiliki tanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada tubuhmu. Penolakan dari orang lain adalah hal yang biasa. Mereka hanya tidak tahu kualitas yang kamu miliki. Ketidaktahuan yang tidak ingin mereka cari, karena kemasan tidak menarik. Percuma saja memiliki segudang kualitas, jika tidak ada yang mau tahu, bukan?

2. Tidak ada yang bisa menyakitimu
Ketika kamu sudah menyadari bahwa tubuhmu adalah salah satu asetmu, maka kamu akan mulai mengenali dirimu sendiri. Kelebihan dari mengenal diri sendiri adalah kamu menjadi seseorang yang percaya diri dan mampu menetapkan batasan ‘apa yang boleh dan tidak boleh orang lain lakukan pada kamu’. Seseorang yang memiliki batasan diri adalah orang yang tidak bisa disakiti tanpa ada persetujuan darinya. Tidak ada batasan, sama dengan tidak ada harga diri.

3. Kamu menjadi versi terbaikmu
Sebagai sosok yang mengetahui diri sendiri. Kamu adalah orang yang tahu betul apa kelebihan dan kekuranganmu. Kamu memperbaiki kekuranganmu dengan terus memaksimalkan kelebihanmu dan mengeksplorasi dirimu untuk menjadi lebih baik lagi. Setelah itu, kamu tidak akan lagi menjadi kamu yang apa adanya. Kamu akan terus mengembangkan diri dan menjadi versi terbaikmu. Ketika kamu menjadi versi terbaikmu, kamu akan semakin mencintai dirimu sampai orang lain ikut – ikutan.

Mencintai diri sendiri, bukanlah hal yang egois apalagi narsistik. Mencintai diri sendiri adalah sebuah pemahaman akan apa yang ada dalam diri, sehingga kamu bisa menghargai diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kamu miliki. Karena itulah, jangan pernah lupa untuk jatuh cinta pada diri sendiri dan jadilah versi terbaikmu!

BEAUTY IS ABOUT YOU!

IMG_20170309_231141.jpg

Seberapa sering kita merasa tidak secantik si A, B, C, D?

Seberapa sering kita mengeluhkan kekurangan yang kita miliki dan menyalahkan kekurangan tersebut sebagai penyebab diri kita tidak secantik A,B,C,D ?

Kita semua tahu bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Tuhan menganugerahkan setiap insan dengan kekurangan dan kelebihannya. Ehem… untuk saya pribadi, kekurangan dan kelebihan itu bukan untuk saling melengkapi atau saling menutupi. Tapi, kelebihan dan kekurangan itu adalah cara Tuhan mengajarkan kita untuk bersyukur.

Ya, kita harus bersyukur terlebih dahulu sebelum berangkat memaksimalkan potensi yang kita miliki. Bersyukur adalah menerima apa yang ada pada diri kita. Proses penerimaan diri sendiri adalah yang terpenting dalam hidup kita. Sebuah proses yang membuat kamu tidak akan merasa tertolak ketika orang lain menolak kehadiran kamu. Karena, penolakan sesungguhnya adalah ketika kamu membenci pantulan diri dalam cermin.

Saya akui bahwa wanita terobsesi pada kecantikan. Membuat kita berlomba – lomba untuk menjadi cantik dengan melakukan rangkaian perawatan kecantikan, belajar cara make-up dan bahkan ada yang sampai melakukan perbaikan pada bagian yang dirasa kurang.

Tapi…

Apakah itu menjadikan kamu benar – benar cantik?

Apakah memperbaiki dan menutupi itu membuatmu cantik?

Cantik itu kamu!

Kamu cantik karena bisa menerima dan mencintai dirimu sendiri.

Kamu cantik meski beberapa orang mengejek kekurangan yang kamu miliki.

Kamu cantik tanpa harus membandingkan diri dengan orang lain.

Kamu cantik tanpa harus ada yang memuji kecantikanmu.

Kamu cantik meski menurut iklan, cantik itu tanpa bulu.

Kamu cantik meski kamu bukan Raisa, Emma Waston, Laudya Cynthia Bella dan semua wanita cantik yang pernah kamu temui ataupun kagumi.

Sadarilah, kecantikan itu bukanlah tentang cara membuat orang lain jatuh cinta pada kamu. Kecantikan adalah tentang kamu yang jatuh cinta dan mencintai diri kamu sendiri.

Beauty is about you, ladies!